Kamis, 19 Desember 2019

THE GIRL WHO SAVED THE KING OF SWEDEN




RCO level 3 telah memasuki tahap akhir. Dan tugas tantangan di level 3  ini adalah  membuat tulisan yang berisi perbedaan dan persamaan tradisi/kebiasaan antara Indonesia dengan negara asal buku tersebut.

Buku ‘The Girl Who Saved The King Of Sweden’ karya Jonas Jonasson ini cukup menarik ceritanya. Buku fiksi setebal 560 halaman berkisah tentang petualangan dan perjalanan hidup seorang wanita bernama Nombeko Mayeki, gadis yang berasal dari Soweto, Afrika Selatan. Nombeko lahir di wilayah dari negara Afrika Selatan yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan sebagian besar penduduknya buta huruf. Di usia lima tahun yang normalnya adalah masa-masa bahagia bagi anak-anak kecil untuk bermain, Nombeko habiskan untuk bekerja sebagai pemikul tong tinja di perusahaan pengurasan jamban.

Dia tidak ingin mengikuti arus lingkungannya yang selain sebagai penguras jamban, orang-orang di sekitarnya juga menghabiskan waktu mereka  untuk mabuk tiner, menonsumsi obat-obat terlarang, menenggak alkohol, hal-hal yang tidak berguna pada intinya. Tak terkecuali ibunya juga. Sungguh menyedihkan memang. Di saat Nombeko seharusnya menghabiskan waktunya untuk bermain, bergembira, dan bersekolah, ternyata dia harus bekerja keras untuk kelangsungan hidupnya, dan ibunya.

Namun Nombeko bukan gadis Soweto pada umumnya, dia termasuk anak yang gigih, pekerja keras, dan mau belajar. Karena tak ingin mati muda seperti para tetangganya, maka Nombeko ingin pindah dari Soweto. Dengan barang yang berhasil dia ambil dari jasad Thabo, tetangganya yang mengajari dia membaca, Nombeko pergi meninggalkan Soweto. Tujuannya adalah Perpustakaan Nasional di Pretoria.

Namun nasib kurang beruntung menimpanya. Dan karena kesialannya dia harus berurusan dengan seorang insinyur gadungan pemabuk yang hidupnya beruntung bernama Engelbrecht van der Westhuizen. Alih-alih membaca buku di perpustakaan nasional di pretoria, Nombeko harus menjadi seorang pekerja di sebuah laboratorium senjata nuklir di Pelindaba. Dan dari sinilah petualangan hidup NOmbeko dimulai.

Pada dasarnya Nombeko adalah orang dengan rasa keingintahuan tinggi, dia menghabiskan waktunya di laboratorium asuhan insinyur Westhuisen sebagai petugas kebersihan dan membaca buku-buku yang terdapat di perpustakaan Pelindaba. Nombeko anak yang cerdas, dia dapat berhitung secara cepat dengan caranya yang unik dan cepat menguasai bahasa asing, yaitu bahasa Cina dialek Wu.

Kehidupan Nombeko semakin penuh dengan kejutan tatkala dia harus bertanggung jawab atas bom nuklir berkekuatan 3 megaton yang tidak seharusnya dia bawa ke Swedia. Nombeko yang seharusnya dapat hidup tenang atas kebebasannya, malah dibuat pusing dengan keberadaan bom nuklir.
Kehidupan para tokoh di novel ini sepertinya kurang sesuai dengan adat ketimuran yang dijunjung oleh negeri kita. Si insinyur yang pemabuk bahkan di jam kerja, tetangga Nombeko yang hidup dengan drugs. Dan juga kehidupan Nombeko bersama kekasihnya yang masih menganut konsep kebebasan khas bangsa barat yang masih tabu untuk dilakukan di bangsa kita ini (meskipun sekarang banyak yang melakukannya sih).

Namun pada akhirnya  novel ini cukup menarik dengan guyonan-guyonan satirenya. Meskipun agak membosankan bagiku. Entah mungkin karena ekspektasiku yang mengharapkan ini adalah sebuah novel penuh aksi. Hihihi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar