Malam kian menggelap ketika aku
hendak terlelap. Bulan membentuk purnama di langit. Sinarnya sedikit menerangi ruangan
yang sedang kutempati untuk sekadar merebahkan tubuh. Ketiga saudaraku memilih
tidur di luar, agaknya hawa panas akhir-akhir ini membuat mereka tak betah
untuk tidur di dalam ruangan sepertiku.
Tak kulihat ibuku sedari sore. Dia sedang
pergi entah kemana. Sudah menjadi kebiasaan ibuku pergi meninggalkan kami
anak-anaknya. Tanpa pesan, tanpa pamit. Tak pernah kubertanya kemana atau untuk
urusan apa dia pergi. Asal dia datang dengan membawa makanan, kami sudah
senang.
Tiba-tiba perasaan tak enak
menyelubungiku. Kubolak-balikkan badan yang sudah payah ini. Dan ketika mataku
akan terpejam, kumendengar kegaduhan di luar.
Reflek, aku berlari keluar untuk mencari
tau sumber kegaduhan. Aku khawatir dengan saudara-saudaraku yang berada di
luar. Jangan-jangan terjadi sesuatu terhadap mereka.
Dan benar saja, ada pengganggu rupanya. Seketika mataku beradu dengan
sosok itu. Lelaki yang sudah menjadikanku tersangka pencuri belanjaan ibu-ibu
kompleks perumahan.
Matanya nyalang menatap kami berempat. Dia mulai menggeram, aku dan saudara lelakiku ikut menggeram juga. Kami mencoba mengusirnya dari sini. Entah apa yang membuatnya berada di tempat kami dengan amarah yang terbakar.
Matanya nyalang menatap kami berempat. Dia mulai menggeram, aku dan saudara lelakiku ikut menggeram juga. Kami mencoba mengusirnya dari sini. Entah apa yang membuatnya berada di tempat kami dengan amarah yang terbakar.
Tiba-tiba dia menyerang saudara
lelakiku. Memang, diantara kami berdua, saudaraku yang terlemah. Badan saudaraku
lebih kecil dariku. Aku menyerang balik pada lelaki itu. Namun tubuhnya yang lebih
besar berhasil menghalauku.
Perkelahian beda postur tubuh yang terjadi di pertengahan malam tak dapat dielakkan. Aku dan saudara lelakiku versus lelaki berperawakan garong. Saudara lelakiku fix menjadi sasaran dia. Tak hentinya dia menggolong dan menyerang saudaraku.
Sekuat tenaga kucoba membantu saudaraku agar tidak menjadi bulan-bulanan dia. Kegaduhan yang kami buat sudah macam petasan. Ribut tak keruan.
Perkelahian beda postur tubuh yang terjadi di pertengahan malam tak dapat dielakkan. Aku dan saudara lelakiku versus lelaki berperawakan garong. Saudara lelakiku fix menjadi sasaran dia. Tak hentinya dia menggolong dan menyerang saudaraku.
Sekuat tenaga kucoba membantu saudaraku agar tidak menjadi bulan-bulanan dia. Kegaduhan yang kami buat sudah macam petasan. Ribut tak keruan.
Di ketidakberdayaanku, saudaraku dibawa kabur loleh sosok itu. Aku mengejarnya dengan sisa tenagaku, tetapi tak berhasil menemukannya. Aku lunglai, terduduk di tengah-tengah jalan perumahan. Bagaimana nasib saudara lelakiku satu-satunya?
Keesokan paginya, pikiranku masih kacau memikirkan saudaraku sambil terus mencoba mencari keberadaannya. Di saat
itulah aku melihat pak haji bersama anak perempuan satu-satunya, membawa jasad
saudaraku yang sudah terbujur kaku.
Sontak kuberlari mendekati mereka. Putri
pak haji mendekatiku, dengan terisak dia berkata, “Hai kecil, dia saudaramu ya?
Relakan dia ya, dia sudah pergi menemui Allah. Kamu jangan bersedih ya.”
Aku hanya mampu berduka. Tak ada kata-kata yang dapat kuucapkan melihat pemandangan dihadapanku. Kubalas perkataan gadis manis itu dengan pandangan penuh kesedihan.
Kelak baru kuketahui pejantan yang telah membunuh saudaraku, adalah ayah kami. Hanya karena tak ingin tersaingi keberadaannya, dia tega membunuh darah dagingnya sendiri.
Kemudian kulihat kembali jasad saudaraku untuk terakhir kalinya. Sebelum tanah menutup tubuh itu selamanya.
Kemudian kulihat kembali jasad saudaraku untuk terakhir kalinya. Sebelum tanah menutup tubuh itu selamanya.
Mba kok ngeriii 😢
BalasHapus😁😁
HapusAku kok baru ngeh di episode ini kalau tokonya ini mpus ya? 😄
BalasHapusWakakaka...betulll..sudah mlai terkuak ya bu kiya
HapusOh kucing tho, kalau Ibu Kiya gang koment aku blm tahu, ahahahah
BalasHapusHahaha...iya si mpus meong
Hapus