Dawu dan saudar-saudaranya Sumber : google |
Aku masih teringat pada mendiang saudara lelakiku. Kejadian itu terlalu sakit untuk dilupakan. Sungguh kejam dan tak berperasaan lelaki yang seharusnya kupanggil ayah itu. Tak sudi rasanya untuk bertemu dengannya lagi. Memori saat bermain dan bercanda dengan saudara lelakiku masih saja berputar di otak. Saudaraku yang malang, semoga engkau berbahagia di sana.
Lamunanku tentang almarhum saudaraku di siang bolong itu
mendadak terusik gegara panggilan
keras pak haji. Oleh warga sekitar, pak haji sering dipanggil dengan sebutan Abah.
Abah kini telah memasuki masa senja hidupnya, tinggal di rumah gedong bercat hijau prusi yang selalu kuintai kehidupan keluarganya. Abah jugalah yang kala itu, bersama anak gadisnya yang baik hati, menguburkan mayat saudara lelakiku.
Abah kini telah memasuki masa senja hidupnya, tinggal di rumah gedong bercat hijau prusi yang selalu kuintai kehidupan keluarganya. Abah jugalah yang kala itu, bersama anak gadisnya yang baik hati, menguburkan mayat saudara lelakiku.
Lagi-lagi Abah memanggil nama itu. “Dawu, dawu, dawu.” Dawu, hmmm. Baru
kali itu kudengar namanya. Siapa gerangan Dawu? Namun tampaknya seseorang yang
dia panggil tak jua kunjung datang.
Dari penglihatanku yang tajam, bisa
kupastikan Abah sedang membawa sepiring makanan. Dan dari indra penciumanku, bisa
kupastikan ada aroma ikan di dalam piring itu. Ahhh, andai saja makanan itu
untukku. Pasti kulumat habis dalam waktu sekejap.
”Dawu, Dawu, sini kamu.” Aku tetap
bergeming, buat apa bergerak toh dia tidak memanggilku. Namun dari pandangan
mata Abah yang menjurus kepadaku, nama itu tertuju padaku.
“Hey, Pus kecil. Sini. Ini makanan
buatmu.” Seketika aku bangkit, masih tidak percaya kalau yang dia panggil Dawu
adalah aku. Karena aku tak bernama, ibuku tak pernah memberiku nama.
“Ya, kucing pintar. Makanlah. Mulai
sekarang, jika kupanggil kau dengan nama Dawu, datanglah. Dawu itu singkatan dari Damar Klawu." Jelasnya padaku yang sedang asyik masyuk dengan makanan di piring. Abah berkata padaku seolah dia sedang berkata kepada anak lelakinya sendiri.
"Dawu, akan kusiapkan makanan untukmu dan saudara-saudaramu. Ajaklah mereka kemari ya. Tak tega aku melihat kalian mengais-ngais sampah untuk sekadar mendapatkan makanan.” Dia melanjutkan perkataannya padaku sambil mengelus-elus bulu kelabuku yang kumal. Tak ada rasa jijik sedikitpun pada raut Abah.
"Dawu, akan kusiapkan makanan untukmu dan saudara-saudaramu. Ajaklah mereka kemari ya. Tak tega aku melihat kalian mengais-ngais sampah untuk sekadar mendapatkan makanan.” Dia melanjutkan perkataannya padaku sambil mengelus-elus bulu kelabuku yang kumal. Tak ada rasa jijik sedikitpun pada raut Abah.
“Meong, meong, meong.” Kuiyakan
ajakannya dengan mengeong. Entah Abah paham atau tidak dengan jawabanku ini. Abah yang berhati tulus, ikhlas menyayangi makhluk ciptaan Sang Maha Pencipta tanpa memandang bulu.
Ya, aku hanyalah kucing kampung tak bertuan dan tak
terawat yang selalu berkeliaran di sekitar perumahan Abah. Tak punya tempat
bernaung , pun juga tak ada makanan nikmat pengganjal perut yang disediakan khusus
untukku.
Namun kini kudapati lelaki baik hati
yang akan memenuhi rasa laparku dan kedua saudaraku. Agaknya jadwal makanku akan
teratur selayaknya anak-anak kucing di rumah Abah.
Biarlah aku tidur di emperan teras rumah orang atau masjid. Itu sudah cukup. Aku sudah cukup bahagia dengan keadaanku saat ini. Hanya Sang Rahman Rahim yang akan membalas segala budi baik Abah padaku.
Biarlah aku tidur di emperan teras rumah orang atau masjid. Itu sudah cukup. Aku sudah cukup bahagia dengan keadaanku saat ini. Hanya Sang Rahman Rahim yang akan membalas segala budi baik Abah padaku.
#tantangan_odop_pekan8
#menulis_cerbung
#kelasmenulisodop
#odopbatch7
#cerita_bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar