Semua barang bawaan sudah kami packing sejak pagi hari
sebelum kami bertolak pulang. Kami memutuskan untuk melakukan perjalanan pulang
malam hari, karena ingin menghindari kemacetan yang terjadi di gerbang tol
Cikampek. Itupun karena saran dari kakak kami yang mengatakan kalau gerbang tol
Cikampek di sore hari pasti padat merayap, maklumlah jam pulang kantor.
Kami menurut saja.setelah melaksanakan salat magrib, kamipun
berpamitan kepada kakak yang selama ini telah menjadi tuan rumah yang baik
kepada adik-adik dan keponakan-keponakannya. Dan benarlah kata kakak, beberapa
kilometer sebelum memasuki gerbang tol Cikampek, volume kendaraan semakin
banyak, macetpun tak dapat dihindari. Ya, kita nikmati saja, entah kapan lagi
kami dapat merasakan macetnya tol
Cikampek. Hehehe.
Seperti halnya saat
berangkat ke Jakarta, sepanjang perjalanan pulang kali ini pak suami masih kuat
untuk memegang kendali mobil.sedangkan aku full
menjaga dan memperhatikan kenyamanan anak-anak. Hari telah menjelang subuh
tatkala kami memasuki kota Magelang. Mobil berbelok sejenak ke pelataran
masjid. Sembari menunggu azan Subuh, suami memejamkan mata sejenak untuk
melepas lelah. Lumayanlah tidur-tidur ayam 30 menit.
Setelah menuntaskan salat subuh, perjalanan kami lanjutkan. Ah, sampai hampir lupa aku. Kami tidak
berencana langsung pulang menuju Mojokerto, tetapi singgah sejenak di kota yang
selalu berhasil membuatku rindu,
Jogjakarta. Kami menginap di Jogja semalam. Jarak Magelang-Jogja tidak terlalu
jauh, kira-kira membutuhkan waktu 1 - 1,5 jam. Namun karena pak suami mengemudi
dengan santai (sambil mampir foto-foto di depan kampus Akmil dan SMA Taruna, hihihi),
2 jam kemudian baru sampai d Jogja.
Pukul 8 pagi ketika kami berada di kota gudeg, dan perut
sudah meraung-raung minta diisi. Namun kami tidak mencari sarapan gudeg, kami
ingin mencoba sarapan menu lain. Dan pilihannya jatuh kepada soto seger Hj.
Fatimah (kalau tidak salah ya) yang terletak di daerah Deresan, Jogjakarta. Tersedia
dua macam soto di sini, soto ayam dan soto daging, ada juga menu pecel bagi
yang kurang menyukai soto.
Soto seger bu Hj. Farida disajikan dalam sebuah mangkuk yang
berukuran tidak terlalu besar, kuahnya bening dengan cita rasa gurih dengan
sedikit rasa manis. Dan yang menggiurkan adalah, kondimennya itu loh, banyak
sekali pilihannya. Beraneka macam sate bumbu manis, dari sate daging, sate
ayam, aneka jerohan, ada juga perkedel , gorengan, dan kerupuk. Duh, inginnya
sih incip semuanya, tapi tahan, tahan, ingat kolesterol. Hahaha. Semuanya nikmat.
Setelah perut kenyang dan hati riang, kami mulai jalan
kembali berkeliling menyusuri kota Jogja sambil menunggu waktu check-in hotel. Kami memilih menginap di Hotel Airlangga yang
berlokasi di jalan Prawirotaman. Banyak bule-bule yang menginap di hotel daerah
ini, yang membuat auranya mirip dengan jalan Legian di Bali (kata temenku sih,
soalnya aku sudah lama sekali tidak ke Bali). Pilihan hotelnya banyak, dan
cukup bersahabat di kantong.
Karena masih capek, siang hari itu kami habiskan dengan merecharge energi saja. Malam harinya kami
kembali berburu makanan. Dan menu makan malam kami kala itu adalah mencicipi kuliner
bakmi Mbah Gito yang super duper laris manis. Iya, sesampainya di sana,
meja-meja sudah nyaris terisi penuh. Syukurlah kami masih kebagian tempat
duduk. Kami memilih bakmi goreng, bakmi nyemek, dan nasi goreng untuk diincipi.
Waktu tunggu kedatangan kuliner si bakmi terbilang cukup lama, mungkin karena
jumlah pengunjung yang ramai jadi harus ekstra
sabar untuk menunggunya (tapi masih lebih lama untuk mengantre bakmi Kadin kok).
Setelah cukup lama menunggu akhirnya pesanan kami datang juga. Tanpa babibu,
segera kami santap hidangan tersebut. Rasanya, enaaakkk. Gurih dan mantul deh
kalau anak jaman now bilang.
Bakmi Mbah Gito |
Namun, menurutku harganya sedikit pricey sih, untuk sepiring
bakmi kita harus membayar 30 ribu rupiah (soalnya dibandingin sama mie goreng
abang-abang di komplek perumahan yang cuma 11 ribu sih, wkwkwkwk). Eits, tidak
mengapa karena harga tersebut membuat kami bahagia dan kenyang pastinya. Kami lantas
berkendara kembali sambil berkeliling untuk melihat suasana kota Jogjakarta. Waktu
sudah larut ketika kami memutuskan untuk kembali ke hotel.
Waktu sehari semalam memang tak cukup untu kami melepas
rindu dengan kota dengan sebutan kota pelajar ini. Namun apa daya, rutinitas
sudah menunggu kami di rumah. Keesokan harinya kami sudah harus melanjutkan
perjalanan pulang. Lagi-lagi kami berwisata kuliner. Karena diiming-iming suami
sate klathak, aku jadi ingin mencicipinya juga dong. Ada beberapa pilihan sate
klathak di kota ini. Sebenarnya penasaran dengan sate klathak Pak Pong yang
fenomenal itu, tapi bayangan harus mengantri berjam-jam menyurutkan niat itu. Akhirnya
kami mencoba sate klathak Pak Jede khas Jejeran yang berada di jalan Nologaten.
Tak perlu berlama-lama untuk menunggu pesanan kami. Seporsi sate
klathak, tengkleng, nasi goreng kambing , dan nasi putih terhidang di meja. Rasa
sate klathak Pak Jede jika dinikmati tanpa kuah, sangat sederhana sekali,
sepertinya hanya dibumbui garam saja. Rasanya dibuat sederhana karena memang
makannya mesti dicocol di kuah yang mirip kuah gule (atau memang kuah gule?hahaha),
jadi agar tidak terjadi tabrakan rasa kalau satenya diberi bumbu kompleks (ini
analisaku saja sih). Cukup unik menurutku.
Dan, kamipun benar-benar meninggalkan kota Jogja setelah
menandaskan kuliner sate klathak Pak Jede. Anak-anak cukup menikmati perjalanan
di kota ini. Ada rasa tidak rela untuk berpisah, diri ini ingin tinggal barang dua
atau tiga hari lagi. Kata pak suami, “In syaa allah kapan-kapan kembali ke
Jogja, sambil menjelajah lebih banyak tempat lagi”. Yayaya, semoga kami
dapat kembali berkunjung ke kota yang
penuh kenangan bagiku dan pak suami ini, entah kapan. Namun aku yakin kami
pasti kembali. Sayonara Jogja, sampai berjumpa pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar