Entah sudah berapa kali aku
mengalami jatuh bangun dalam urusan percintaan. Banyak lelaki datang dan pergi,
tetapi mereka hanya bisa menyisakan luka di hatiku. Sampai-sampai aku merasa
takut jika akan memulai suatu hubungan baru dengan lawan jenisku. Takut dikecewakan
lagi.
Ada belasan nama mulai dari Feri,
Dodit, Tito, Iman, Wahyu, Seta, Bram, Andreas, Yoga, Riki, Awang, Zaki hingga
nama-nama lain yang aku tidak mengingatnya. A-Z ada lah pokoknya. Bukan, aku bukan pengoleksi
pacar, apalagi player. Suatu ketika salah
satu sahabatku, Astri, iseng bertanya padaku, “Aku heran deh, wajahmu tuh standar Mic, tapi kenapa tuh cowo-cowo pada
suka ma kamu?”. “Untung kamu sahabatu, kalau bukan, sudah tak slepet kamu” pikirku
dongkol. Dikira aku ini helm apa, standar. “Pernah denger istilah inner beauty
kan? Ya itulah daya pikatku. Dan kalau saja kamu telaten menatap wajahku, lama-lama
aku terlihat manis kok.” balasku tak terima.
Ironisnya, di sini aku yang
selalu dicampakkan. Dicampakkan dengan alasan sudah tidak ada kecocokan lah,
diselingkuhi lah, cuma di-PHP-i lah, akunya yang egois lah, aku yang tidak pengertian
lah, dan ratusan alasan lainnya. Yang paling parah adalah diputuskan karena
alasan “Aku sudah bosan nih”. “What?”
Dia pikir aku ini barang apa, sudah bosan, buang. “Plak” tamparan di pipi mantan
pacarku kala itu, Satria namanya, menandakan
akhir hubungan kita. Nama yang berbanding terbalik dengan sikapnya. Huh.
Saat ini aku sudah di titik,
dimana aku ingin segera mengakhiri nasib burukku berhubungan dengan pria yang hanya
sampai level “pacaran” saja. Aku ingin segera dipertemukan dengan lelaki
berkuda putih bak cerita-cerita dongeng. Ya tidak harus seseorang yang
benar-benar datang dengan menaiki kuda putih, maksudku seorang lelaki yang bisa
membimbingku, melindungiku, mengayomiku. “Cari polisi aja, Mic.”, usul
sahabatku Astri. “Sesuai motto mereka kan, melindungi dan mengayomi masyarakat.”
Lanjut dia asal. Dia memang sangat membantu, membantu memperkeruh suasana
hatiku. Tepok jidat.
Hingga pada suatu pagi ketika aku
berangkat ke kantor, aku bertemu dengan teman kuliahku dahulu di halte bus,
Afika namanya. Dipertemukan kembali setelah lima tahun lamanya. Penampilannya berubah
total, gamis dan khimar telah menutup sempurna auratnya. Meskipun demikian dia
tetap terlihat anggun. Ternyata dia sudah hidup bahagia bersama pangeran
berkuda putihnya lengkap bersama putri kecilnya. Aku iri.
Waktu dia bertanya tentang marital status padaku, dengan lirih
kujawab, “Jomblo”. “Hah? Serius?” tanyanya tidak percaya. Mengingat historiku
yang gonta-ganti pacar, memang cukup membuat dia ternganga. “Hehe” sengiran
kuda aku layangkan sebagai balasan. “Nunggu apa, Mic? Cantik, mapan, matang. Kurang
apalagi?” tanyanya masi berlanjut. Apakah jawaban “Jomblo”ku tadi terlalu
lirih, sampai-sampai dia tidak mendengarnya? Pikirku. “Ya kurang lakinya lah
Fik.” Jawabku gemas. “Masa iya nikah tinggal nyeret sembarang laki, Fik”
lanjutku masi sewot. “Hihihi, iya iya. Taaruf gih” usulnya sambil tersenyum.
“Pantaskan dirimu sebelum kamu
memantaskan diri untuk orang lain. Mulailah perbaiki diri karena Allah, maka
Allah akan menghadirkan pria yang terbaik untuk kamu.” Tiba-tiba Afika berkata
demikian. Wah pagi-pagi diceramahi, pikirku sinis. “Sering lihat Golden Way nih”
sindirku. “Bukan pak MT, tapi kutipan Arif Rahman Lubis” koreksinya. “Berhijrahlah,
Mica. Assalamu’alaikum.” Katanya mengakhiri pertemuan singkat kami, karena bus
tujuan dia telah sampai.
Dan di sinilah diriku, berada
dalam suatu kajian as-sunah. Berhijrah, kata yang tak pernah terlintas
dibenakku sebelumnya. Hidayah Allah memang bisa turun kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa
saja. Aku bersyukur pagi itu bertemu dengan teman lamaku, yang membawaku
kepada kebaikan.
Aku memang belum bertemu jodohku
sampai hari ini. Aku masih memperbaiki diriku, meminta ampunan kepada Allah
atas semua kekhilafan masa laluku. Tiba-tiba, “Mic, ini ada tiga CV dari tiga orang akhi. Sepertinya
banyak yang tertarik dengan CVmu.” Sambil tersenyum Afika menjulurkan tiga map coklat padaku. Aku
masih melongo, tidak percaya. Apa iya, wanita dengan masa lalu sepertiku ada yang tertarik. “Serahkan semua pada Allah, tidak ada yang berhak
menghakimi hamba Allah yang sudah bertaubat.” Kata-kata Afika menenangkan
hatiku. Rupanya dia bisa membaca pikiranku.
“Bismillahirrohmanirrohim.” Bisikku.
Dengan hati berdebar, perlahan kubaca satu demi satu CV taaruf yang ada di
tanganku. Berharap ridha Illahi, semoga salah satu dari tiga akhi ini
adalah pangeran berkuda putih impianku. Ups, salah. Semoga salah satu dari tiga
akhi ini adalah calon imam dunia akhiratku. Allahumma amin.
Aku suka ceritanyaa hehehe, salam kak, aku dari grup valetta
BalasHapusAlhamdulillah...terimakasih, salam kenal juga yaa
Hapus