Senin, 23 September 2019

MEMANTASKAN DIRI (CERPEN)

Entah sudah berapa kali aku mengalami jatuh bangun dalam urusan percintaan. Banyak lelaki datang dan pergi, tetapi mereka hanya bisa menyisakan luka di hatiku. Sampai-sampai aku merasa takut jika akan memulai suatu hubungan baru dengan lawan jenisku. Takut dikecewakan lagi.

Ada belasan nama mulai dari Feri, Dodit, Tito, Iman, Wahyu, Seta, Bram, Andreas, Yoga, Riki, Awang, Zaki hingga nama-nama lain yang aku tidak mengingatnya. A-Z  ada lah pokoknya. Bukan, aku bukan pengoleksi pacar, apalagi player. Suatu ketika salah satu sahabatku, Astri, iseng bertanya padaku, “Aku heran deh, wajahmu tuh  standar Mic, tapi kenapa tuh cowo-cowo pada suka ma kamu?”. “Untung kamu sahabatu, kalau bukan, sudah tak slepet kamu” pikirku dongkol. Dikira aku ini helm apa, standar. “Pernah denger istilah inner beauty kan? Ya itulah daya pikatku. Dan kalau saja kamu telaten menatap wajahku, lama-lama aku terlihat manis kok.” balasku tak terima.

Ironisnya, di sini aku yang selalu dicampakkan. Dicampakkan dengan alasan sudah tidak ada kecocokan lah, diselingkuhi lah, cuma di-PHP-i lah, akunya yang egois lah, aku yang tidak pengertian lah, dan ratusan alasan lainnya. Yang paling parah adalah diputuskan karena alasan “Aku sudah bosan nih”. “What?” Dia pikir aku ini barang apa, sudah bosan, buang. “Plak” tamparan di pipi mantan pacarku kala itu,  Satria namanya, menandakan akhir hubungan kita. Nama yang berbanding terbalik dengan sikapnya. Huh.

Saat ini aku sudah di titik, dimana aku ingin segera mengakhiri nasib burukku berhubungan dengan pria yang hanya sampai level “pacaran” saja. Aku ingin segera dipertemukan dengan lelaki berkuda putih bak cerita-cerita dongeng. Ya tidak harus seseorang yang benar-benar datang dengan menaiki kuda putih, maksudku seorang lelaki yang bisa membimbingku, melindungiku, mengayomiku. “Cari polisi aja, Mic.”, usul sahabatku Astri. “Sesuai motto mereka kan, melindungi dan mengayomi masyarakat.” Lanjut dia asal. Dia memang sangat membantu, membantu memperkeruh suasana hatiku. Tepok jidat.

Hingga pada suatu pagi ketika aku berangkat ke kantor, aku bertemu dengan teman kuliahku dahulu di halte bus, Afika namanya. Dipertemukan kembali setelah lima tahun lamanya. Penampilannya berubah total, gamis dan khimar telah menutup sempurna auratnya. Meskipun demikian dia tetap terlihat anggun. Ternyata dia sudah hidup bahagia bersama pangeran berkuda putihnya lengkap bersama putri kecilnya. Aku iri.

Waktu dia bertanya tentang marital status padaku, dengan lirih kujawab, “Jomblo”. “Hah? Serius?” tanyanya tidak percaya. Mengingat historiku yang gonta-ganti pacar, memang cukup membuat dia ternganga. “Hehe” sengiran kuda aku layangkan sebagai balasan. “Nunggu apa, Mic? Cantik, mapan, matang. Kurang apalagi?” tanyanya masi berlanjut. Apakah jawaban “Jomblo”ku tadi terlalu lirih, sampai-sampai dia tidak mendengarnya? Pikirku. “Ya kurang lakinya lah Fik.” Jawabku gemas. “Masa iya nikah tinggal nyeret sembarang laki, Fik” lanjutku masi sewot. “Hihihi, iya iya. Taaruf gih” usulnya sambil tersenyum.

“Pantaskan dirimu sebelum kamu memantaskan diri untuk orang lain. Mulailah perbaiki diri karena Allah, maka Allah akan menghadirkan pria yang terbaik untuk kamu.” Tiba-tiba Afika berkata demikian. Wah pagi-pagi diceramahi, pikirku sinis. “Sering lihat Golden Way nih” sindirku. “Bukan pak MT, tapi kutipan Arif Rahman Lubis” koreksinya. “Berhijrahlah, Mica. Assalamu’alaikum.” Katanya mengakhiri pertemuan singkat kami, karena bus tujuan dia telah sampai.

Dan di sinilah diriku, berada dalam suatu kajian as-sunah. Berhijrah, kata yang tak pernah terlintas dibenakku sebelumnya. Hidayah Allah memang bisa turun kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa saja. Aku bersyukur pagi itu bertemu dengan teman lamaku, yang membawaku kepada kebaikan.

Aku memang belum bertemu jodohku sampai hari ini. Aku masih memperbaiki diriku, meminta ampunan kepada Allah atas semua kekhilafan masa laluku. Tiba-tiba, “Mic, ini ada tiga CV dari tiga orang akhi. Sepertinya banyak yang tertarik dengan CVmu.” Sambil tersenyum Afika menjulurkan tiga map coklat padaku. Aku masih melongo, tidak percaya. Apa iya, wanita dengan masa lalu sepertiku ada yang tertarik. “Serahkan semua pada Allah, tidak ada yang berhak menghakimi hamba Allah yang sudah bertaubat.” Kata-kata Afika menenangkan hatiku. Rupanya dia bisa membaca pikiranku.

“Bismillahirrohmanirrohim.” Bisikku. Dengan hati berdebar, perlahan kubaca satu demi satu CV taaruf yang ada di tanganku. Berharap ridha Illahi, semoga salah satu dari tiga akhi ini adalah pangeran berkuda putih impianku. Ups, salah. Semoga salah satu dari tiga akhi ini adalah calon imam dunia akhiratku. Allahumma amin.

2 komentar:

  1. Aku suka ceritanyaa hehehe, salam kak, aku dari grup valetta

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah...terimakasih, salam kenal juga yaa

      Hapus