Kamis, 24 Oktober 2019

BEJAT


Blur. Indra penglihatannya hanya mampu menangkap samar sosok pria misterius yang berdiri memunggunginya di depan pintu kamar hotel. Ruangan hotel kelas melati yang jauh dari kata lega itu serasa menghimpit daksanya. Gadis 20 tahun yang  terbaring di sana tengah merasakan perih yang teramat sangat, perih lahir dan batin. Darah segar keperawanan mengalir dari organ terintim tubuhnya.

Meinar, baru saja dirudapaksa oleh lelaki yang bahkan dia sendiri tidak tau pasti parasnya. Dia dalam keadaan setengah sadar saat tindakan bejat itu terjadi. Namun satu hal yang dia ingat, pelaku adalah seorang pria bertato naga di dadanya. Kejadian yang Meinar alami akan membekas dalam memori terkelamnya, hingga ajal yang akan menghapusnya. Kini sang pemerkosapun pergi meninggalkan Meinar, sendiri.

******

Meinar tidak ingat pasti bagaimana bisa dia dirudapaksa oleh pria misterius itu. Hal terakhir yang diingatnya adalah dia diminta untuk datang ke suatu rumah makan oleh seseorang dengan alasan Bima ingin menemuinya untuk membahas rencana pernikahannya. Yang terjadi selanjutnya, Meinar tak sadarkan diri setelah meminum segelas minuman yang disuguhkan padanya di rumah makan itu. Dan kegadisan Meinar berakhir di atas ranjang hotel. Kepolosan Meinar membawanya pada nasib sial.

Dia tumpahkan kemalangan yang menimpanya kepada sang ibunda. Tiada hari yang dia lewati tanpa meratapi nasib. Dadanya sesak, tubuhnya semakin hari beringsut turun. Ingin rasanya berteriak pada Sang Maha Pemilik raga, mengapa kejadian buruk ini menimpanya. Tak ada jejak yang ditinggalkan pria misterius itu. Meinar tak tau lagi kemana dan kepada siapa dia harus mengadu.

“Sabar, Nduk. Ini ujian dari Gusti Allah. Kuatkan imanmu, Nduk. Dekatkan dirimu kepada Allah. Mari kita lewati ini semua bersama-sama. Allah akan bersama hambanya yang sabar dan tawakal.” Kata-kata itu yang selalu diucakan sang ibu kepada putri semata wayangnya.

Bukan hanya Meinar yang terpuruk, hati ibunya pun ikut luluh lantak. Mereka menangis bersama mencoba berdamai dengan suratan takdir dari Yang Maha Kuasa.

Suatu hari Meinar memberanikan diri untuk mengungkap aibnya kepada Bima. Berharap Bima masih mau menikahinya meskipun kondisinya kini tak suci lagi.  Malang tak dapat ditentang, Bima malah menghilang. Meinar tak lagi menjumpai Bima yang hampir setiap pagi menyempatkan waktu sejenak sekadar untuk pamit bekerja.

Keadaan ini membuat Meinar semakin putus asa. Keinginannya untuk mengakhiri hidup semakin tak terbendung. Meskipun ada ibunda tercinta yang selalu menguatkan diri Meinar.

 “Mei ga kuat, Bu. Mei mau mati saja. Mas Bima sudah ga mau ketemu Mei setelah kuceritakan kejadian ini padanya. Dia malah menuduhku berselingkuh dengan pria lain Bu.” Tangis Meinar pecah di pelukan ibundanya.

“Istighfar, Nduk. Kematian tidak akan menyelesaikan masalahmu, Nduk. Ingat siksa Allah amat keji kepada umatnya yang bunuh diri.” Ibunya tak pernah berhenti mengingatkan Meinar.

“Ujian ini terlalu berat, Bu. Hidupku binasa, rencana pernikahanku dengan mas Bima pupus sudah. Untuk apa Mei hidup?” ratapnya pada sang ibunda yang wajahnya ikut menua karena masalah ini.

Keinginan Meinar untuk mengakhiri hidupnya ternyata bukan isapan jempol belaka. Sudah dua kali Meinar melakukan usaha bunuh diri, entah dengan cara menenggak racun atau menggantung dirinya. Namun usahanya selalu gagal karena keburu diketahui ibunya.

Hingga di suatu pagi yang cerah, ibunda Meinar menemukan anaknya bersimbah darah di kamar. Darah segar mengalir dari nadi pergelangan tangan Meinar.

“Astaghfirullahal'adzim. Apa yang kamu lakukan, Nduk." Jerit sang ibu pilu.

“Duh Gusti jangan ambil nyawa anakku.” Pinta ibunda Meinar kepada Sang Rahman Rahim.

“Maafkan Mei, Bu.” Kata Meinar dalam kondisi yang sangat lemah. Senyum samar dia persembahkan pada sang ibu. Berpikir bahwa itu adalah senyum terakhir, sebelum malaikat pencabut nyawa mengambil ruhnya.

“Tolong, tolong.” serta merta sang ibunda lari keluar rumah mencari pertolongan kepada tetangga sekitar.

Tak dinyana, sang ibunda bertemu Pak Trenggono, ayah Bima. Tanpa babibu, dia langsung meminta pertolongan Pak Trenggono agar mau membantunya membawa Meinar ke rumah sakit.

Rupanya hari itu Pak Trenggono sengaja melewati rumah Meinar. Kabar usaha bunuh diri mantan calon menantunya itu telah merebak ke seluruh kampung hingga sampai di rungu Pak Trenggono. Dia berlari mengikuti ibunda Meinar. Dilihatnya sosok itu terbujur tak berdaya di lantai. Hampir sekarat.

Pak Trenggono mendekati tubuh Meinar. Kini hanya mereka berdua di kamar itu. Pak Trenggono menyuruh ibunya memanggil sopir yang ada di depan jalan masuk kampung.

Tanpa diduga, Pak Trenggono tertawa jahat melihat kondisi Meinar yang sedang meregang nyawa.

"Hahaha."

Dia mendekati gadis itu. Dengan berjongkok dia menatap wajah Meinar yang nafasnya mulai terdengar satu satu.

“Akhirnya aku berhasil menghancurkanmu sehancur-hancurnya, Cah Ayu. Sampai kapanpun, aku tidak akan merestui hubunganmu dengan anakku, Bima.” Bisiknya pada Meinar.

Meinar sedikit tersentak mendengar suara Pak Trenggono. Dengan berat dia mencoba membuka matanya. Hal pertama yang dia lihat adalah tato bergambar naga dari balik kemeja  Pak Trenggono. Memorinya tentang malam laknat itu berputar kembali. Ternyata laki-laki yang tega menodainya adalah calon ayah mertuanya sendiri.

“Ka...ka...kamu.” katanya lirih. Tak ada lagi daya yang dia punya. Dalam kondisinya berjuang melawan maut, dia menemukan pelakunya.

“Hahahaha, kaget? Asal kamu tau, aku lebih bahagia melihatmu mati daripada melihatmu bersanding dengan orang lain. Apalagi jika orang itu adalah Bima, anakku sendiri. Ya, aku mencintaimu Mei.” Katanya pada Meinar dengan seringai penuh kepuasan.

“Aku telah berhasil menjauhkan Bima darimu, dan menggagalkan pernikahanmu.” Lanjutnya.

Tangan Pak Trenggono mulai mengelus kepala Meinar yang menatapnya dengan penuh kebencian. Andai Meinar masih kuat, akan dia kirimkan ludah ke muka lelaki bejat itu.

Mengapa baru kini dia dipertemukan dengan pelaku sebenarnya? Di saat usaha bunuh diri Meinar akan membuahkan hasil. Dan disepertiga ujung nyawanya, Meinar merapal doa kepada Tuhan Yang Maha Adil, meminta agar doanya dikabulkan, doa sebagai orang yang terzalimi. Meski dia menempuh cara yang salah untuk kematiannya.

“Semoga Allah melaknatmu dan melimpahkan seburuk-buruknya azab  kepadamu, Trenggono. Akan kutunggu dirimu kelak di Hari Pembalasan, untuk mendengar pertanggungjawabanmu dihadapan Allah.”

Tepat sebelum Meinar terpejam, Ibundanya masuk ke kamar Meinar. Dengan sigap, Pak Trenggono mengangkat tubuh lunglai Meinar. Dia hanya bisa pasrah. Sekali lagi dia berada dalam dekapan lelaki yang pura-pura membantu dia dan ibunya. Lelaki yang dikira pahlawan oleh ibunya, tak lain adalah orang yang telah menghancurkan masa depannya.


#tantanganpekan7
#komunitasODOP
#kelasmenulis
#tantangan_membuat_opening_cerpen

14 komentar: