Jumat, 11 Oktober 2019

SESAL


Sudah tujuh tahun usia pernikahanku dengan suami. Namun pernikahan kami bukan pernikahan biasa menurutku. Kisah manis pernikahan kami hanya indah di awal-awal saja. Hari-hari lebih banyak kami lalui dalam diam. Hambar, itu yang kami rasakan. Entah apa penyebab pastinya, mungkin buah hati yang didamba-damba hadirnya belum jua datang, atau mungkin karena hubungan jarak jauh yang kami jalani, atau mungkin karena hubunganku dengan mertua yang kurang akur. Atau mungkin-mungkin yang lainnya, terlalu banyak kemungkinan memang.

Kami sama-sama manusia pekerja, tetapi kami tinggal di dua kota yang berbeda. Tiap akhir pekan, suamiku yang mengalah untuk datang ke rumah yang lebih sering kutinggali sendiri. Kehampaan yang lebih banyak mengisi ruangan rumah kami. Aku lebih senang menenggelamkan diri dalam urusan pekerjaanku untuk menghindari sepi di rumah itu. Bukannya tanpa usaha, semenjak dua tahun usia pernikahan kami, kami sudah berikhtiar untuk memperoleh momongan. Tapi Sang Khalik berkata lain, urusan anak juga urusan rezeki. Hanya yang Maha Pemberi Rezeki yang tau rahasia itu.

Ibu mertuaku seringnya menyindirku, tak sekali dua kali beliau mengatakan aku orangnya bebal, egois, tidak manut, karena tidak mau mendampingi suamiku dan lebih memilih jabatanku. Namun semua itu telah kami kompromikan, bahkan jauh sejak awal biduk rumah tangga kami berjalan, bahwa tidak ada pekerjaan yang perlu dikorbankan. Suamiku membebaskanku untuk berkarir, asalkan tau batasannya.
Suamiku, pada dasarnya dia suami yang baik, hanya memang agak cuek. Pertanyaan-pertanyaan macam pertanyaan yang menunjukkan suatu perhatian jarang sekali diutarakan lewat perkataa maupun via aplikasi percakapan. Asalkan aku baik-baik saja, tidak mengeluh sakit, dia takkan khawatir. Dan sifatkupun 11-12 dengan dia. Dan mungkin inilah awal kebisuan ini, kami terlalu nyaman dengan keadaan hening ini. Melihat kami terlihat baik-baik saja tanpa banyak komuikasi. Hanya jawaban “Iya”, “Oke”, “Baiklah” yang masing-masing kami lontarkan atas semua pertanyaan. Hee, aneh bagi orang lain, tetapi lumrah bagi kami.

Heee. Orang luar yang melihat kami, menganggap kami pasangan yang asik. Tanpa perlu kepo dengan urusan pasangan, tidak ada kecemburuan, tidak ada kecurigaan. Namun aku wanita normal pada umumunya, yang masih membutuhkan pundak suamiku untuk bersandar dari segala sesakku, selain sajadah untuk mengadu dalam sujudku. Bodohnya, aku terlalu gengsi untuk mengutarakan itu semua pada suamiku. Aku selalu ingin terlihat menjadi wanita yang kuat dan tegar di setiap masalah-masalah yang menderaku.

Sore itu mas Bagas, suamiku, tiba-tiba mengajakku makan malam. Tanpa kusadari hari ini adalah hari pernikahan kami.
“Dik, malam ini kita makan di luar saja ya. Kamu lupa kan, kalau hari ini anniversary pernikahan kita?” ajaknya sekaligus menanyakan ingatanku akan momen yang seharusnya bersajarah.

“Oh, oke.” Ya, lagi-lagi jawaban singkat jelas yang kuberikan. Tanpa pertanyaan lanjutan, kamipun melanjutkan kesibukan masing-masing.

Pukul tujuh malam kami sudah bersiap. Aku memakai baju terbaik yang kupunyai. Parfum semerbak mewangi kusemprotkan ke area nadiku, berharap wanginya lebih tahan lama. Di ruang tamu, ternyata suamiku sudah bersiap. Dia terlihat sangat tampan, bukannya baru kini kutau dia tampan, rupanya aku yang sudah lama tidak melihat ketampanan suamiku. Dia tersenyum, senyuman maut itu yang membuatku jatuh hati.

“Wow, istriku cantik sekali. Sudah siap?” dia memujiku. Aku serasa gadis yang jatuh cinta lagi. Sesuatu yang hangat merambati pipiku.

“Iya, ayo mas.” Jawaban singkat lagi.

Malam ini kami habiskan berdua dengan rasa bahagia. Banyak kata-kata yang kami ucapkan. Canda tawa kami gemakan. Cerita yang selama ini kami pendam masing-masing kami keluarkan. Suasana seperti tujuh tahun silam kini hadir kembali.
“Maafkan mas ya Dik. Mas kurang peka terhadapmu. Mas harus sering-sering mengajakmu pergi, agar aku bisa melihat tawa bahagiamu.” Kata mas Bagas setelah meneguk segelas minuman di hadapannya.

“Maafkan aku juga mas, tidak bisa selalu ada di samping mas Bagas di rumah dinasmu, mas.” Jawabku dengan jawaban cukup panjang kali ini.

“Hmm, mari kita bangun semuanya dari awal lagi. Aku akan pindah ke rumah kita mulai bulan depan. Permintaanku untuk mutasi disetujui. Kamu tidak akan kesepian lagi, Dik.” Kuucapkan rasa syukur dalam hatiku atas berita bahagia itu. Rumah kami mungkin akan hidup kembali.

Kami kembali pulang setelah menghabiskan separuh malam yang berkesan ini. Esok hari suamiku harus kembali mengendarai mobilnya untuk kembali ke kota tempat dia beraktivitas.

***

“Bojoku sing ayu dewe, masmu balik dulu ya. Tunggu kedatanganku minggu depan, kita akan berjumpa. Tak sabar aku melihat tawamu lagi.” Bisik mas Bagas di telingaku. Dia tidak mau membangunkanku dari tidur nyenyakku. Hanya kecupan di kening sebagai pertanda dia pamit.

“Iya Mas, hati-hati di jalan. Kabari kalau sudah sampai.” Jawabku yang masih dengan mata terpejam. Kulirik jam weker di sebelah kasur empukku. Pukul 03.30. Aku kembali terpejam.

Hingga...

“Halo, dengan Ibu Bagas?” tanya suara di seberang telepon yang suara deringnya membangunkanku.

“Iya.” Jawabku dengan kantuk masih menggelayut. Pukul 05.30. Aku sedang berhalangan, jadi tidak ada kewajiban shalat yang harus kukerjakan.

“Ibu, ini dengan kepolisian, ingin mengabarkan bahwa suami Ibu, Bapak Bagas Pratama baru saja menjadi korban kecelakaan beruntun di tol. Dan maaf nyawa suami Ibu tidak dapat diselamatkan...”  

Tetiba hanya suara ngung ngung ngung yang bisa aku dengar di telepon genggamku. Aku yang baru terjaga merasa limbung, makanan di dalam perutku serasa ingin keluar. Tangisku pecah. Suamiku yang harusnya datang minggu depan dengan senyuman terbaiknya, kini telah tiada. Janji kami untuk memulai lagi rumah tangga kami yang hambar ini tidak dapat terwujud. Maafkan aku mas. Apakah aku istri yang buruk bagimu? Apakah kamu bahagia denganku? Pertanyaan yang belum sempat kulontarkan padanya malam tadi. Hanya akan meninggalkan sesal berkepanjangan di kalbuku. Ternyata malam tadi adalah pertemuan terakhirku denganmu. Aku mencintaimu mas Bagas.


2 komentar: