Sudah tujuh tahun usia pernikahanku dengan suami. Namun
pernikahan kami bukan pernikahan biasa menurutku. Kisah manis pernikahan kami
hanya indah di awal-awal saja. Hari-hari lebih banyak kami lalui dalam diam. Hambar,
itu yang kami rasakan. Entah apa penyebab pastinya, mungkin buah hati yang
didamba-damba hadirnya belum jua datang, atau mungkin karena hubungan jarak
jauh yang kami jalani, atau mungkin karena hubunganku dengan mertua yang kurang
akur. Atau mungkin-mungkin yang lainnya, terlalu banyak kemungkinan memang.
Kami sama-sama manusia pekerja, tetapi kami tinggal di dua
kota yang berbeda. Tiap akhir pekan, suamiku yang mengalah untuk datang ke
rumah yang lebih sering kutinggali sendiri. Kehampaan yang lebih banyak mengisi
ruangan rumah kami. Aku lebih senang menenggelamkan diri dalam urusan
pekerjaanku untuk menghindari sepi di rumah itu. Bukannya tanpa usaha, semenjak
dua tahun usia pernikahan kami, kami sudah berikhtiar untuk memperoleh
momongan. Tapi Sang Khalik berkata lain, urusan anak juga urusan rezeki. Hanya yang
Maha Pemberi Rezeki yang tau rahasia itu.
Ibu mertuaku seringnya menyindirku, tak sekali dua kali
beliau mengatakan aku orangnya bebal, egois, tidak manut, karena tidak mau mendampingi
suamiku dan lebih memilih jabatanku. Namun semua itu telah kami kompromikan,
bahkan jauh sejak awal biduk rumah tangga kami berjalan, bahwa tidak ada
pekerjaan yang perlu dikorbankan. Suamiku membebaskanku untuk berkarir, asalkan
tau batasannya.
Suamiku, pada dasarnya dia suami yang baik, hanya memang
agak cuek. Pertanyaan-pertanyaan macam pertanyaan yang menunjukkan suatu
perhatian jarang sekali diutarakan lewat perkataa maupun via aplikasi
percakapan. Asalkan aku baik-baik saja, tidak mengeluh sakit, dia takkan
khawatir. Dan sifatkupun 11-12 dengan dia. Dan mungkin inilah awal kebisuan
ini, kami terlalu nyaman dengan keadaan hening ini. Melihat kami terlihat baik-baik
saja tanpa banyak komuikasi. Hanya jawaban “Iya”, “Oke”, “Baiklah” yang masing-masing kami lontarkan atas semua pertanyaan.
Hee, aneh bagi orang lain, tetapi lumrah bagi kami.
Heee. Orang luar yang melihat kami, menganggap kami pasangan
yang asik. Tanpa perlu kepo dengan urusan pasangan, tidak ada kecemburuan, tidak
ada kecurigaan. Namun aku wanita normal pada umumunya, yang masih membutuhkan pundak
suamiku untuk bersandar dari segala sesakku, selain sajadah untuk mengadu dalam
sujudku. Bodohnya, aku terlalu gengsi untuk mengutarakan itu semua pada suamiku.
Aku selalu ingin terlihat menjadi wanita yang kuat dan tegar di setiap
masalah-masalah yang menderaku.
Sore itu mas Bagas, suamiku, tiba-tiba mengajakku makan
malam. Tanpa kusadari hari ini adalah hari pernikahan kami.
“Dik, malam ini kita makan di luar saja ya. Kamu lupa kan,
kalau hari ini anniversary pernikahan kita?” ajaknya sekaligus menanyakan
ingatanku akan momen yang seharusnya bersajarah.
“Oh, oke.” Ya, lagi-lagi jawaban singkat jelas yang
kuberikan. Tanpa pertanyaan lanjutan, kamipun melanjutkan kesibukan
masing-masing.
Pukul tujuh malam kami sudah bersiap. Aku memakai baju
terbaik yang kupunyai. Parfum semerbak mewangi kusemprotkan ke area nadiku,
berharap wanginya lebih tahan lama. Di ruang tamu, ternyata suamiku sudah
bersiap. Dia terlihat sangat tampan, bukannya baru kini kutau dia tampan,
rupanya aku yang sudah lama tidak melihat ketampanan suamiku. Dia tersenyum,
senyuman maut itu yang membuatku jatuh hati.
“Wow, istriku cantik sekali. Sudah siap?” dia memujiku. Aku serasa
gadis yang jatuh cinta lagi. Sesuatu yang hangat merambati pipiku.
“Iya, ayo mas.” Jawaban singkat lagi.
Malam ini kami habiskan berdua dengan rasa bahagia. Banyak kata-kata
yang kami ucapkan. Canda tawa kami gemakan. Cerita yang selama ini kami pendam
masing-masing kami keluarkan. Suasana seperti tujuh tahun silam kini hadir
kembali.
“Maafkan mas ya Dik. Mas kurang peka terhadapmu. Mas harus
sering-sering mengajakmu pergi, agar aku bisa melihat tawa bahagiamu.” Kata mas
Bagas setelah meneguk segelas minuman di hadapannya.
“Maafkan aku juga mas, tidak bisa selalu ada di samping mas
Bagas di rumah dinasmu, mas.” Jawabku dengan jawaban cukup panjang kali ini.
“Hmm, mari kita bangun semuanya dari awal lagi. Aku akan
pindah ke rumah kita mulai bulan depan. Permintaanku untuk mutasi disetujui. Kamu
tidak akan kesepian lagi, Dik.” Kuucapkan rasa syukur dalam hatiku atas berita
bahagia itu. Rumah kami mungkin akan hidup kembali.
Kami kembali pulang setelah menghabiskan separuh malam yang
berkesan ini. Esok hari suamiku harus kembali mengendarai mobilnya untuk
kembali ke kota tempat dia beraktivitas.
***
“Bojoku sing ayu dewe, masmu balik dulu ya. Tunggu kedatanganku
minggu depan, kita akan berjumpa. Tak sabar aku melihat tawamu lagi.” Bisik mas
Bagas di telingaku. Dia tidak mau membangunkanku dari tidur nyenyakku. Hanya kecupan
di kening sebagai pertanda dia pamit.
“Iya Mas, hati-hati di jalan. Kabari kalau sudah sampai.” Jawabku
yang masih dengan mata terpejam. Kulirik jam weker di sebelah kasur empukku. Pukul
03.30. Aku kembali terpejam.
Hingga...
“Halo, dengan Ibu Bagas?” tanya suara di seberang telepon
yang suara deringnya membangunkanku.
“Iya.” Jawabku dengan kantuk masih menggelayut. Pukul 05.30. Aku sedang berhalangan, jadi tidak ada kewajiban shalat yang harus kukerjakan.
“Ibu, ini dengan kepolisian, ingin mengabarkan bahwa suami
Ibu, Bapak Bagas Pratama baru saja menjadi korban kecelakaan beruntun di tol. Dan maaf
nyawa suami Ibu tidak dapat diselamatkan...”
Tetiba hanya suara ngung ngung ngung yang bisa
aku dengar di telepon genggamku. Aku yang baru terjaga merasa limbung, makanan
di dalam perutku serasa ingin keluar. Tangisku pecah. Suamiku yang harusnya
datang minggu depan dengan senyuman terbaiknya, kini telah tiada. Janji kami
untuk memulai lagi rumah tangga kami yang hambar ini tidak dapat terwujud. Maafkan
aku mas. Apakah aku istri yang buruk bagimu? Apakah kamu bahagia denganku? Pertanyaan
yang belum sempat kulontarkan padanya malam tadi. Hanya akan meninggalkan sesal
berkepanjangan di kalbuku. Ternyata malam tadi adalah pertemuan terakhirku denganmu. Aku mencintaimu mas Bagas.
Duuuh laper aku, Mak. Eh, baper😢
BalasHapusMakan...makaaaann maakk hahaha
Hapus