Senin, 14 Oktober 2019

RASA YANG SALAH


Putri, nama gadis itu. Aku mengenalnya 6 tahun yang lalu, ketika kita masi sama-sama di bangku kuliah. Dia adik kelasku dua tahun. Pertemuan kita seperti sudah diatur oleh semesta. Tak sengaja kita dipersatukan dalam satu kelompok asistensi dengan dosen pembimbing yang sama dalam suatu mata kuliah perancangan. Lorong  depan ruang dosen menjadi saksi bisu di setiap pertemuan kita. Hanya sapaan “Hai” yang dia ucapkan setiap bertemu denganku, atau lebih tepatnya  sapaan itu dia ucapkan untuk menyapa kelompok kami. Ah, aku terlalu percaya diri kalau senyum itu ditebar hanya untukku.

Putri, hanya namanya saja yang menggambarkan bahwa dia seorang wanita. Berbanding terbalik dengan penampilannya. Gaya berpakaiannya jauh dari kata putri. Dia gadis tomboy, rambutnya pendek hampir cepak malah, celana jeans belel, kaos yang dirangkapi dengan hem oversize, dan sepatu kets menjadi andalan penampilannya. Namun entah mengapa, seperti ada magnet magis yang membuat makhluk lawan jenis menyukai dia.

Suatu hari, Putri tiba-tiba merangkulku dan mengajakku makan di kantin bawah tangga di salah satu sudut kampusku. Kikuk aku dibuatnya.

“Kak Erick, ngebakso yuk. Desainku ditolak lagi, nyebelin ih. Bikin lapar perutku saja.” Ajaknya.
Aku tidak tau sejak kapan dia tau namaku.

“Tau namaku?” Sebuah pertanyaan bodoh kulontarkan tanpa sungkan.

“Ya taulah, masa satu kelompok asistensi ga tau nama kakak.” Jawabnya santai tanpa beban.

“Ahhh. Oke.” Hanya jawaban itu yang bisa aku lontarkan.

Dan tanpa diduga, itulah awal kedekatan kita. Hari-hari kita lalui hampir bersama. Kedekatan yang tidak biasa. Enam tahun bukan waktu yang singkat untuk menjalani kebersamaanku dengan Putri. Aku terlalu mengetahui dia luar dalam, begitupun sebaliknya.

Aku merasa hubungan ini lebih dari hubungan pertemanan biasa. Bukan, bukan hubungan persahabatan atau hubungan persaudaraan. Hubungan yang anehlah, menurutku. Apakah kami saling jatuh cinta. Entahlah, akupun bingung. Aku tidak pernah mengungkapkan rasaku kepada Putri. Aku tetap menyimpan perasaan sukaku. Pun juga Putri, dia hanya menunjukkan kepeduliannya kepadaku. Mungkin kita sama-sama saling menyukai, tetapi dalam diam.

Hingga suatu waktu, Putri datang kepadaku dengan membawa sebentuk surat undangan pernikahan kepadaku.
“Kak Erik, datang ya ke acara akad nikahku. Aku ingin kamu datang sebagai bentuk restumu padaku.” Pintanya sambil mengulurkan undangan itu kepadaku.

“Akhirnya lelaki itu berhasil menaklukkan hatimu, Put.” Jawabku sambil tersenyum getir dan mencoba menahan air mataku menetes. 

Putri membalas pertanyaanku dengan senyuman manisny, “Iya, sifat dia hampir sama sepertimu kak. Namun dia dalam wujud lelaki. Dia lelaki yang salih dan bertanggung jawab."

“Kak Erick jangan sedih ya, aku mohon. Aku tau semuanya tidak akan pernah sama seperti dulu lagi, tetapi aku akan selalu ada untukmu, Kak.” Lanjutnya mencoba meyakinkanku dan menguatkanku.

“Cintai aku sebagai saudara perempuanmu karena Allah. In syaa Allah, Allah telah menyiapkan  imam untuk  kakak.” Kata Putri dengan lembut.

Hatiku porak poranda dibuatnya. Kutatap nanar undangan pernikahan antara “Putri dan Ahmad”. Di sana tertulis namaku. Kepada: Kak Ericka Damayanti.

Hanya Putri yang memanggil namaku dengan Erick, hanya Putri yang selalu membuat cerah hari-hariku, hanya Putri yang selalu menemani dalam jatuh bangunku. Ya Allah rasaku memang salah, tidak seharusnya aku mencintainya. Dari relung hatiku yang paling dalam aku berdoa untuk kebahagiaan dia dalam menyusuri biduk rumah tangganya. Dan aku, aku mengamini dalam hati doa yang Putri ucapkan untukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar