Putri, nama gadis itu. Aku
mengenalnya 6 tahun yang lalu, ketika kita masi sama-sama di bangku kuliah. Dia
adik kelasku dua tahun. Pertemuan kita seperti sudah diatur oleh semesta. Tak
sengaja kita dipersatukan dalam satu kelompok asistensi dengan dosen pembimbing
yang sama dalam suatu mata kuliah perancangan. Lorong depan ruang dosen menjadi saksi bisu di
setiap pertemuan kita. Hanya sapaan “Hai” yang dia ucapkan setiap bertemu
denganku, atau lebih tepatnya sapaan itu
dia ucapkan untuk menyapa kelompok kami. Ah, aku terlalu percaya diri kalau
senyum itu ditebar hanya untukku.
Putri, hanya namanya saja yang
menggambarkan bahwa dia seorang wanita. Berbanding terbalik dengan penampilannya.
Gaya berpakaiannya jauh dari kata putri. Dia gadis tomboy, rambutnya pendek
hampir cepak malah, celana jeans belel, kaos yang dirangkapi dengan hem
oversize, dan sepatu kets menjadi andalan penampilannya. Namun entah mengapa, seperti
ada magnet magis yang membuat makhluk lawan jenis menyukai dia.
Suatu hari, Putri tiba-tiba
merangkulku dan mengajakku makan di kantin bawah tangga di salah satu sudut
kampusku. Kikuk aku dibuatnya.
“Kak Erick, ngebakso yuk.
Desainku ditolak lagi, nyebelin ih. Bikin lapar perutku saja.” Ajaknya.
Aku tidak tau sejak kapan dia tau
namaku.
“Tau namaku?” Sebuah pertanyaan
bodoh kulontarkan tanpa sungkan.
“Ya taulah, masa satu kelompok asistensi
ga tau nama kakak.” Jawabnya santai tanpa beban.
“Ahhh. Oke.” Hanya jawaban itu
yang bisa aku lontarkan.
Dan tanpa diduga, itulah awal
kedekatan kita. Hari-hari kita lalui hampir bersama. Kedekatan yang tidak
biasa. Enam tahun bukan waktu yang singkat untuk menjalani kebersamaanku dengan
Putri. Aku terlalu mengetahui dia luar dalam, begitupun sebaliknya.
Aku merasa hubungan ini lebih
dari hubungan pertemanan biasa. Bukan, bukan hubungan persahabatan atau
hubungan persaudaraan. Hubungan yang anehlah, menurutku. Apakah kami saling
jatuh cinta. Entahlah, akupun bingung. Aku tidak pernah mengungkapkan rasaku
kepada Putri. Aku tetap menyimpan perasaan sukaku. Pun juga Putri, dia hanya
menunjukkan kepeduliannya kepadaku. Mungkin kita sama-sama saling menyukai,
tetapi dalam diam.
Hingga suatu waktu, Putri datang
kepadaku dengan membawa sebentuk surat undangan pernikahan kepadaku.
“Kak Erik, datang ya ke acara
akad nikahku. Aku ingin kamu datang sebagai bentuk restumu padaku.” Pintanya sambil
mengulurkan undangan itu kepadaku.
“Akhirnya lelaki itu berhasil
menaklukkan hatimu, Put.” Jawabku sambil tersenyum getir dan mencoba menahan
air mataku menetes.
Putri membalas pertanyaanku
dengan senyuman manisny, “Iya, sifat dia hampir sama sepertimu kak. Namun dia
dalam wujud lelaki. Dia lelaki yang salih dan bertanggung jawab."
“Kak Erick jangan sedih ya, aku
mohon. Aku tau semuanya tidak akan pernah sama seperti dulu lagi, tetapi aku
akan selalu ada untukmu, Kak.” Lanjutnya mencoba meyakinkanku dan menguatkanku.
“Cintai aku sebagai saudara
perempuanmu karena Allah. In syaa Allah, Allah telah menyiapkan imam untuk
kakak.” Kata Putri dengan lembut.
Hatiku porak poranda dibuatnya. Kutatap
nanar undangan pernikahan antara “Putri dan Ahmad”. Di sana tertulis namaku. Kepada:
Kak Ericka Damayanti.
Hanya Putri yang memanggil namaku
dengan Erick, hanya Putri yang selalu membuat cerah hari-hariku, hanya Putri
yang selalu menemani dalam jatuh bangunku. Ya Allah rasaku memang salah, tidak
seharusnya aku mencintainya. Dari relung hatiku yang paling dalam aku berdoa
untuk kebahagiaan dia dalam menyusuri biduk rumah tangganya. Dan aku, aku
mengamini dalam hati doa yang Putri ucapkan untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar